tidak menentang kehendak pencipta

Pilihan Cerdas

Minggu, 10 Juli 2011

Antara Monumentalis dan Sekularisasi Di Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta



Dulu ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar, saya pernah memainkan permainan tebak kata dengan teman sebaya saya. Salah satu pertanyaan dari tebak kata tersebut adalah, “Apakah bahasa arab dari lapangan yang besar?”. Tentu ketika saya masih kecil membenarkan jawabanya adalah Alun-alun. Kami tidak peduli apakah benar Alun-alun berasal dari bahasa arab atau hanya lelucon. Kemiripan pengucapan kata Alun-alun dengan logat ke-arab-an dari salah satu teman kami bernama Joko membenarkan persepsi kami waktu kecil. Persepsi pribadi saya tentang kata Alun-alun merupakan warisan kata dari generasi sebelum kami ada, dari bapak-bapak kami. Begitu juga dengan Alun-alun secara realita ada merupakan warisan arsitektur dari jaman sebelum penjajahan hingga sekarang.

Di dalam buku “Encyclopedie van Nederlandsch Indie” (Paulus, 1917:31), terdapat penjelasan tentang ‘Alun-alun’ sebagai berikut:
“Di hampir setiap tempat kediaman Bupati, seorang kepala distrik di Jawa, orang selalu menjumpai adanya sebuah lapangan rumput yang luas, yang dikelilngi oleh pohon beringin di tengahnya. Lapangan inilah yang dinamakan ‘Alun-alun’. Di kota-kota bekas kerajaan kuno (seperti Surakarta dan Yogyakarta), mempunyai dua buah ’Alun-alun’, sebuah terletak di Utara Kraton dan sebuah lagi terletak disebelah Selatan Kraton. Di permukaan Alun-alun tersebut tidak boleh ada rumput tumbuh dan diatasnya ditutup dengan pasir halus. Di bagian Selatan dari Alun-alun tersebut terdapat pintu masuk yang menuju ketempat kediaman Raja atau Bupati, dimana disana berdiri sebuah pendopo. Pegawai negeri atau orang-orang lain yang ingin bertemu dengan raja atau Bupati menunggu waktunya disana untuk dipanggil, jika Raja merestui untuk menerima kedatangan mereka. Oleh sebab itu pendopo tersebut kadang-kadang dinamakan juga Paseban (asal kata seba). Pada masa lampau di Alun-alun tiap hari Sabtu atau Senin (Seton atau Senenan) diadakan permainan Sodoran (pertandingan diatas kuda dengan menggunakan tombak yang ujungnya tumpul), atau pertandingan macan secara beramai-ramai yang dinamakan ‘rampog macan’. Pada waktu pertunjukan ini raja duduk di Siti Inggil, tempat yang paling tinggi dimuka pintu Kraton. Pada tempat-tempat Bupati terdapat panggung untuk melihat tontonan tersebut. Di Jawa Barat juga terdapat Alun-alun kecil di depan rumah kepala desa, tapi Alun-alun tersebut tidak dikelilingi oleh pohon beringin. Mesjid seringkali terdapat disebelah Barat dari Alun-alun”
(Mengutip tulisan di dalam jurnal Handinoto (Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra) yang berjudul “ALUN-ALUN SEBAGAI IDENTITAS KOTA JAWA, DULU DAN SEKARANG”.)

Pada jaman sebelum penjajahan Belanda, Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta atau Surakarta adalah tempat yang disakralkan. Dimana masuk dalam wilayah keraton yang dianggap homogen (sakral), yang teratur dan harus diatur. Di Alun-alun Utara inilah dilakukan upacara keagamaan (Grebek Maulud, Grebeg Sawal, dan Grebeg Besar). Pada saat upacara keagamaaan gamelan yang disebut dengan “Kyai Sekati” dan “Nyai Sekati” dimainkan di halaman Masjid Agung terletak di sebelah barat dari Alun-alun.

Alun-alun Lor berfungsi menyediakan persyaratan bagi berlangsungnya kekuasaan raja. Alun-alun Kidul berfungsi untuk menyiapkan suatu kondisi yang menunjang kelancaran hubungan kraton dengan universum. Alun-alun Kidul dapat juga melambangkan kesatuan kekuasaan sakral antara raja dan para bangsawan yang tinggal disekitar Alun-alun.(Mengutip tulisan di dalam jurnal Handinoto (Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra) yang berjudul “ALUN-ALUN SEBAGAI IDENTITAS KOTA JAWA, DULU DAN SEKARANG”.)
Pada jaman penjajahan Belanda Alun-alun sangat erat hubunganya dengan susunan pemerintahan yang dijalankan. Alun-alun dianggap sebagai monument kekuasaan. Dalam sistem pemerintahan kolonial, Jawa dibagi menjadi 3 Propinsi, 18 Karesidenan yang masing-masing dibawahi oleh soerang residen, serta 66 Kabupaten yang masing-masing dikuasi secara bersama oleh seorang Asisten, Residen (orang Belanda) dan seorang Bupati (Pribumi). Pada pusat kota Kabupaten inilah dibakukan semacam lambang pemerintahan bersama antara Asisten Residen dengan Bupati dalam bentuk phisik. Ujudnya adalah bentuk phisik tradisional berupa rumah Bupati dengan pendopo didepannya. Di depan rumah Bupati tersebut terdapat Alun-alun yang ditumbuhi oleh dua buah atau kadang-kadang sebuah pohon beringin.

Sifat Alun-alun yang tadinya sangat sakral bergeser menjadi ruang yang sangat merakyat. Hingga sekarang Alun-alun telah mengalami perubahan konsep dari bentuk fisiknya, walaupun bentuk fisiknya tidak banyak berubah.

Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta
Di sekitar Alun-alun Utara Keraton Surakarta sekarang terdapat tempat-tempat yang sering dikunjungi masyarakat. Pasar klewer di sebelah pojok selatan-barat, kios optik di sebelah timur, kios buku-buku di utara sebelah barat arah masuk ke Alun-alun dari Jalan Slamet Riyadi, barang-barang pusaka seperti keris, tombak dan sebagainya di sebelah timur jalan tersebut. Semua tertata rapi membentuk ruang-ruang kota yang dinamis. Dari ruang-ruang ini, Alun-alun Utara dikepung keramaian yang merupakan ruang publik (public sphere) bagi masyarakat kota Solo. Tidak dengan Alun-alun Utara yang berada di tengah, sepi gersang dan hanya ramai pada momen-momen tertentu. Alun-alun Utara tertutup oleh pagar besi yang melingkari.

Sebelum Walikota Solo Joko Widodo merapikan daerah sekitar Alun-alun Utara, hampir seluruh bagian luar pagar dari Alun-alun tertempel dan tersebar pedagang kaki lima, kios-kios optik yang berjubel dengan pedagang pusaka dan stiker, dan penjual buku-buku yang mangkal sembarangan di pinggir jalanan. Sampai sekarang jikalau upacara keagamaan, Alun-alun Utara disulap menjadi pasar hiburan rakyat. Dari pedagang kaki lima yang berani memasang tenda di Alun-alun, tong setan, kemidi putar, penjual mainan, sirkus dan sebagainya. Kesakralan Alun-alun Utara hilang dalam balutan pedagang yang mengepungnya.

Pemerintah Kota Solo hingga saat ini masih melakukan penataan Alun-alun Utara dan area di sekitarnya. Pemkot Surakarta akan melanjutkan penataan kawasan Alun-alun Utara Keraton Kasunanan pada 2011 dengan tahap awal berupa sosialisasi kepada sejumlah pemangku kepentingan setempat (Kompas 23 Desember 2010). Meskipun demikian tidak mudah menjadikan Alun-alun utara dan area sekitarnya sebagai destinasi masyarakat lokal atau asing sesuai dengan monumentalisnya.

Pengertian publik dalam arsitektur sebenarnya tidak merujuk pada aktivitas tertentu namun lebih kepada rasa, suasana, dan penerapan indera yang mempengaruhi kesan kepemilikan kepada sebuah locus. Ruang publik dalam arsitektur terjadi bila pada locus tersebut tercipta kesan kepemilikan yang terbagi merata pada setiap subyek pengguna di sana. Kepemilikan yang dimaksutkan adalah dalam konteks psikologis.(David Hautama. Dikutip dari; Ruang Publik Dalam Arsitektur, Ruang Publik, Kanisius 2010) Dalam hal ini setiap orang yang berkunjung ke Alun-alun utara dan sekitarnya tidak hanya menikmati fasilias yang nantinya akan disediakan oleh Pemkot Surakarta, tapi dengan adanya Alun-alun Utara menjadikan penguatan atas rasa cinta kebudayaan yang sama.

Tidak ada komentar: