tidak menentang kehendak pencipta

Pilihan Cerdas

Minggu, 12 Februari 2012

Tantangan Pendidikan Vokasi

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) menjadi sorotan publik dengan kehadiran mobil rakitan Kiat Esemka. Banyak orang berbicara tentang kepemimpinan Jokowi, nasib kegagalan mobil nasional, juga termasuk politik pencitraan Jokowi. Tapi, tampaknya orang tidak akan membicarakan nasib masa depan siswa-siswa (dan) SMK terutama di hadapan masyarakat, dunia industri, dan pengambil kebijakan pendidikan.

Sekolah SMK pada dasarnya adalah sekolah keprofesian, vokasional, atau keahlian sebagai jalur profesi. Proyeksi lulusannya, dengan demikian, adalah untuk mendapatkan kerja yang sesuai dengan keahlian yang telah mereka pelajari di bangku SMK.

Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana jika mereka tidak mendapatkan pekerjaan. Apa penyebabnya? Dalam pengamatan saya, di sini ada dua penyebab. Pertama, memang lulusan itu tidak kompeten. Untuk mengatasi permasalahan ini, langkah-langkah yang harus dikerjakan antara lain membenahi kurikulum, memperbaiki tenaga pendidik yang mumpuni dengan menyekolahkan lagi, memperbanyak praktik, dan sebagainya.

Namun, untuk mengatakan bahwa lulusan SMK Solo sekarang sudah cukup kompeten memang tidak mudah jika parameternya adalah mendapatkan pekerjaan. Dari sini kita masuk ke penyebab yang kedua, yaitu tidak ada lapangan pekerjaan bagi lulusan SMK tersebut. Di sini permasalahan menjadi sangat rumit dan kompleks. Meski demikian, pada dasarnya kembali pada pertumbuhan ekonomi yang harus ditingkatkan dan dijaga stabilitasnya untuk menyiapkan dan memberikan lapangan kerja.

Kampung industri vokasi
Untuk itu, melihat dari segi pemegang pemerintahan, perlu dikembangkan kampung vokasi. Selama ini pemerintah Solo cukup banyak memberikan perhatian pada kampung batik. Ke depan, pemerintah Solo seharusnya bisa mengembangkan kampung kerajinan, kampung kesenian, kampung teknologi, dan sebagainya, yang dikelola sesuai dengan menejemen berkultur Jawa untuk menampung lulusan SMK. Di kampung-kampung ini, pemerintah dituntut untuk mengembangkan dan menjadikannya sebagai basis industri rumahan (home industy).

Dua permasalahan internal dan eksternal ini harus dikelola secara sinergis. Di sini, kita ingat model pendidikan ala Orde Baru untuk menunjang proyek pembangunan ekonomi. Yaitu model pendidikan link and match. Model ini sangat tepat diterapkan untuk lembaga pendidikan SMK sebagai pendidikan vokasi. Pada intinya, model pendidikan ini berbasis pada penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan ekonomi. Keterampilan profesi para siswa disesuaikan (link) dengan dengan lapangan pekerjaan yang ada (match).

Pendidikan vokasi akan gagal jika mengabaikan model pendidikan ini. Maka SMK-SMK dituntut untuk terus-menerus menyesuaikan vokasionalitasnya dengan permintaan pasar kerja. Di sini, pemerintah, swasta, dan sekolah SMK harus bersinergi dengan melakukan kerja sama atau kontrak kerja. Di Solo, SMK yang sudah mengantongi kontrak kerja dengan perusahaan pemerintah atau swasta sangat sedikit. Ini menjadi masalah penting.

Mentalitas
Masalah yang tak kalah penting adalah mentalitas siswa SMK. SMK, sebagaimana yang ada sekarang, memprioritaskan pada teaching factory, memfokuskan pengajarannya pada keterampilan vokasional sebagai bekal hidup secara mandiri. Dengan demikian, pekerjaan untuk mereka lebih banyak di luar pemerintahan atau pegawai negeri sipil (PNS).

Padahal, sudah menajdi rahasia umum bahwa orang Jawa memiliki mentalitas priyayi yang sangat kental. Mereka lebih suka menjadi abdi/pegawai negeri sipil (PNS). Bukan saja keuntungan ekonominya lebih menjamin, tapi juga memiliki nilai ibadah kultural kejawaan yang sangat kuat. Warisan kerajaan dan kolonialisme itu masih mendarah daging. Saat ada pendaftaran PNS, pesertanya sangat membludak.

Mengurusi masalah ini jauh lebih rumit dari pada masalah teknis. Siswa SMK harus diberi motivasi pengembangan diri berbasis enterpreneurship. Mereka tidak hanya dipersiapkan untuk menjadi seorang teknisi atau seorang ahli di bidang tertentu, mereka juga harus didorong untuk menjadi bos, pengusaha, inovator, katakanlah sebagai technopreneur, bogaprenuer, artpreneur, dan sebagainya.

Perguruan tinggi
Permasalahan berikutnya adalah bagi siswa yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Sudah menjadi kesadaran umum bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang semakin besar kesempatan sukses di kemudian hari. Maka tidak mengherankan jika lulusan SMK yang dipersiapkan untuk langsung bekerja masih tetap berburu bangku perguruan tinggi. Perguruan tinggi tetap menggiurkan dengan janji-janji masa depannya.

Yang jadi masalah, program-program atau jurusan kejuruan atau vokasi di perguruan tinggi sangat tidak populer dan kurang menggiurkan. Maka dari itu, program semacam D-1 sampai D-3 tidak banyak peminatnya dan dengan demikian tidak digarap dengan serius oleh perguruan tinggi khususnya universitas. Bahkan, beberapa perguruan tinggi menghapus program-program kejuruan. Hal ini merugikan bagi lulusan SMK yang ingin memperdalam dan mengasah skill vokasional mereka. Siswa SMK tidak bisa mengembangkan profesi mereka sampai pada jenjang spesialis (bandingkan dengan jurusan kedokteran, yang sebenarnya juga bisa dikatakan program profesi).

Masalah ini tidak banyak diekspos karena lulusan SMK sudah diasumsikan ”siap kerja” tanpa perlu mempercanggih pengetahuan mereka. Dalam alam globalisasi seperti sekarang dimana sekat-sekat lokal mulai jebol, siswa SMK tidak boleh hanya bermodal ”siap kerja” tapi juga harus bermodal ”siap belajar”. Etos ini akan memberi mereka jiwa kemandirian, siap menerima tantangan masa depan, dan siap menghadapi perubahan. Dan untuk itu, perguruan tinggi (juga lembagalembaga lainnya) dengan jurusan vokasional harus dipersiapkan bagi mereka.

Yang jadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah pemerintah Solo sudah memiliki kemauan yang mengarah ke sana? Solo yang sudah mengukuhkan diri sebagai Kota Vokasi harus menghadapi masalah ini. Jokowi-Rudy ditantang untuk menyelesaikan atau paling tidak membuka jalan penyelesaian pada kepemimpinan mereka yang kedua ini. Masalah-masalah ini menjadi pekerjaan rumah yang sudah menunggu. Permasalahan ini memang tidak akan terselesaikan dengan segera pada pemerintahan Jokowi-Rudy. Tapi, paling tidak, Jokowi-Rudy bisa mempersiapkan lahan yang subur, dengan memperbaiki kualitas sekolah-sekolah SMK, memperbaiki iklim usaha, segera merampungkan Solo Techno Park, lalu mempromosikan dan meminta perguruan tinggi untuk memperbaiki, jika memang sudah ada, dan membuka jurusan profesi spesialis sebagai jenjang lanjutan bagi lulusan SMK.

Terakhir, dalam lahan yang subur, benih-benih berkualitas akan tumbuh dengan baik, ekonomi akan tumbuh dan maju, dan dengan demikian, masyarakat Solo bisa sejahtera. Apakah Solo akan menjadi pemantik kebangkitan teknologi Indonesia?