tidak menentang kehendak pencipta

Pilihan Cerdas

Rabu, 01 Desember 2010

Lokananta, Di bawah Bayang-bayang Ketidakberdayaan Pengelolaan

Tampak dari luar, hanya halaman yang sebagian tak terurus, dengan rumput memanjang bebas hingga setinggi lutut orang dewasa, semakin menambah kesan kurang terawat tempat ini. Sepintas, tak terlihat kalau bangunan di baliknya ternyata menyimpan aset budaya berharga. Di tanah seluas 21.150 meter persegi yang terletak di jalan Jend. Ahmad Yani Solo inilah, berdiri kokoh bangunan yang memiliki nilai sejarah tinggi. Tempat itu menjadi saksi bisu lahirnya maestro-maestro musik legendaris Indonesia seperti Gesang, Waldjinah, dan Bing Slamet.

Bangunan tersebut dulunya bernama Pabrik Piringan Hitam Lokananta, yang dioptimalkan sebagai Pabrik Piringan Hitam Jawatan Radio Kementerian Republik Indonesia. Berdiri pada tanggal 29 Oktober 1956 dan diresmikan oleh Menteri Penerangan R.I. kala itu, Soedibyo. Selang lima tahun, pemerintah mengubah status Lokananta menjadi Perusahaan Negara (PN). Seiring tuntutan zaman, tahun 1993 Lokananta pun beralih menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Namun karena kondisi perusahaan yang terus terpuruk, pemerintah pun melikuidasinya pada tahun 2001. Setelah keputusan tersebut, status perusahaan rekaman musik pemerintah yang pertama ini berubah menjadi Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (Perum PNRI) Cabang Surakarta hingga sekarang.

Orientasi kerja Lokananta terus mengalami penyesuaian seiring dengan pergantian generasi pemimpinnya. Pada awalnya, Lokananta merekam dan memproduksi piringan hitam. Dalam sejarahnya, Lokananta erat hubungannya dengan RRI. Dikarenakan Lokananta berdiri atas prakarsa Direktur RRI Jakarta yang pernah menjadi kepala RRI Surakarta. Tujuan pendirian Lokananta waktu itu untuk memenuhi kebutuhan bahan siaran RRI di seluruh Indonesia. Setelah menjadi Perusahaan Negara, tugas Lokananta adalah menggali, membina, melestarikan, dan menyebarluaskan kesenian dan kebudayaan nasional. Namun pada tahun 1972, Lokananta mulai berhenti memproduksi piringan hitam dan digantikan dengan kaset.

Diangkatnya Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia pada tahun 1999 yang melikuidasi Departemen Penerangan, berbuah ketidakjelasan status Lokananta. Kondisi tersebut memberikan pengaruh terhadap jumlah pegawai yang awalnya 80-an hingga sekarang hanya tersisa 21 pegawai. "Kebanyakan dari mereka kembali ke RRI atau instansi awal,” jelas H Pendi Heryadi, pimpinan Lokananta sekarang.

Koleksi
Nama Lokananta memang identik dengan berbagai koleksi yang berhubungan dengan musik. Tempat ini pun memiliki ruang-ruang khusus yang menyimpan banyak aset kebudayaan. Di salah satu ruang gedung, terdapat tempat penyimpanan master-master lagu kebudayaan, gending-gending, dan pidato kenegaraan pada masa Bung Karno. Kesemuanya tersusun rapi dalam beberapa almari dengan kejelasan tanggal dan waktu produksi pada tiap-tiap almari. Piringan-piringan hitam pun ditempatkan pada ruangan tersendiri dan ditata dalam rak kayu berjajar. Diletakkan pula bubuk kopi di setiap tengah rak untuk perawatan sampul-sampul piringan hitam yang terbuat dari kertas.
Tidak jauh dari ruang penyimpanan piringan hitam, terdapat museum mini. Di dalamnya tersimpan banyak memorabilia antik seperti mesin putar piringan hitam tahun 1970, equalizer tahun 1960, reverberation tahun 1960, alat ukur osciloscape tahun 1960, mixer audio tahun 1960, echo amplifier tahun 1960, mesin pemotong pita, hingga pengganda kaset tahun 1960. Lirik lagu Indonesia Raya dalam tiga versi yang berbeda, jenis model dan bahan piringan hitam, produk-produk Lokananta dan beberapa microphone untuk rekaman jaman kejayaan Lokananta dahulu juga masih tersimpan rapi di sini.

Terdapat pula sebuah studio rekaman yang terletak di utara gedung kantor. Studio ini adalah studio ketiga yang dimiliki oleh Lokananta. Studio yang pertama adalah studio tempat rekaman lagu Bengawan Solo oleh alm.Gesang, terletak di selatan pintu masuk gedung kantor. Dan studio kedua terletak di timur studio ketiga. Akan tetapi, yang masih berfungsi sekarang hanyalah studio ketiga. Studio pertama sudah menjadi ruang penyimpanan arsip-arsip penting kantor, dan studio kedua rencananya akan difungsikan kembali untuk studio musik. Di dalam studio ketiga atau studio rekaman utama sekarang, masih tersimpan seperangkat gamelan yang mengilhami nama Lokananta, Gamelan Lokananta. Gamelan ini konon dapat berbunyi sendiri tanpa penabuh.

Perkembangan Lokananta
Sebelum Dinas Penerangan dilikuidasi, mesin-mesin pembuat piringan hitam Lokananta masih ada. Namun setelah itu, keberadaannya malah berangsur-angsur tiada. Praduga yang paling besar adalah akibat tidak adanya jaminan kesejahteraan karyawan Lokananta di era tersebut. Hal ini berdampak kepada kebijakan area Lokananta sekarang yang tidak sesuai dengan tujuan awal didirikannya. Akhir-akhir ini, Lokananta memang getol untuk melakukan alih fungsi lahan. Pengalih fungsian lahan Lokananta sejauh ini berupa lapangan futsal, penyewaan Kantor Pos, dan penyewaan gudang kertas dan kardus.

Tidak menutup kemungkinan jumlah alih fungsi lahan ini bakal bertambah seiring dengan ijin dari pihak PNRI Pusat. Dengan pemasukan dari pengalih fungsian lahan ini, keberlangsungan hidup Lokananta berikut para karyawannya dapat terjaga sampai sekarang. Perlu diketahui, sumber dana operasi Lokananta sebelumnya hanya berasal dari produksi ulang rekaman lama dalam bentuk kaset dan VCD, serta jasa rekaman yang tidak tentu waktunya.

Masalah pendanaan merupakan masalah yang selama enam tahun terakhir menjadi momok Lokananta. Setiap kebijakan yang diambil oleh pimpinan Lokananta bukan merupakan sebuah kebijakan yang gampang untuk direalisasikan, harus dengan persetujuan Perum PNRI Pusat mengingat Lokananta berada dibawah Perum PNRI. Sederhananya, bahwa setiap pimpinan Lokananta hanya bertugas untuk menjaga Lokananta. Kewenangan pimpinan Lokananta merupakan keberanian pimpinan dalam kebijakanya untuk Lokananta. Seperti halnya pengalih fungsian gudang untuk lapangan futsal. Karena dampaknya bagus dan memberikan kontribusi luar biasa kepada Lokananta, maka pimpinan pusat pun mengacungi jempol. Akan tetapi, jika ternyata kebijakan pimpinan Lokananta membuat Lokananta merugi, maka pimpinan pusat siap meminta pertanggung jawaban atas keberanian kebijakan tersebut.

Sementara itu, tahun ini Lokananta tengah merilis studio musik rekaman kecil untuk band-band indie. Penggarapanya sudah hampir selesai. Lokananta memang berusaha mempopulerkan diri kepada masyarakat muda Kota Solo, dan inilah salah satu langkahnya. Lokananta juga mempunyai sekolah musik walaupun belum maksimal penggarapannya. Sekolah musik sekarang sementara hanya untuk olah vokal. Meskipun demikian, perangkat musik lainnya seperti drum, gitar, dan bas telah tersedia.
Selain kemegahan bangunan di dalamnya, studio Lokananta juga terkenal dengan kualitas rekaman yang menjanjikan. “Tahun lalu puas, operator bekerja sama dengan baik, hasil oke,” papar Rizka Dwipayani Setiyakso, SE, Msi, Kepala Sekolah Play Group dan TK Al-Qur’an Terpadu Bintangku Surakarta. Sudah dua tahun Rizka rekaman untuk kenang-kenangan kelulusan. Rizka berharap tahun depan dapat rekaman kembali di Lokananta. Ia juga menghimbau agar setiap orang melihat Lokananta bukan dari luarnya saja. Menurutnya, banyak potensi terpendam yang dimiliki Lokananta yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Lokananta bisa dikatakan sedang bangkit dari sebuah mati suri. Berusaha terus eksis dengan berbagai halangan dan rintangan. Tentu hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh pihak Lokananta sendiri. Bapak H. Pendi Heryadi menyebut masa sekarang ini sebagai masa–masa konsolidasi Lokananta. ”Pihak Lokananta berkonsolidasi dengan berbagai pihak baik dari pemerintah maupun investor-investor swasta yang peduli terhadap budaya bangsa untuk menggalang dukungan terutama dukungan materi. Dukungan semua lapisan masyarakat pun juga diperlukan untuk bangunnya Lokananta dari mati suri. Inilah momentum yang tepat untuk kebangkitan Lokananta,” tandasnya lebih lanjut.

Lokananta sebagai Kotak Budaya

Boleh disebut, Lokananta adalah bahan siap dan instan yang potensial bagi kelengkapan budaya kota Solo. Namun kenyataannya sekarang, Lokananta seolah-olah menjadi dokumen yang mati. Ini berawal dari Lokananta yang tidak bisa bersaing ketika piringan hitam tergeser oleh kaset pita. Pengamat Sejarah dari UNS, Drs. Soedarmono SU., berpendapat bahwa Lokananta akan tetap mati suri jika tidak ada ide kreatif yang penuh dengan gebrakan. Misalnya menjual piringan hitam kecil dengan mesin pemutar pringan hitam layaknya pemutar CD mini era sekarang, yang mudah dibawa kemana pun dan praktis. Tentu siapa yang tak rindu dengan piringan hitam? Jika sebelumnya bisa mempelopori piringan hitam, mengapa Lokananta tidak bisa menjadi pelopor untuk industri kaset pita dan CD? Padahal industri rekaman merupakan pendokumentasian layaknya arsip nasional. ”Mentalitas dagang Lokananta tidak punya, manajemen tolol, perusahaan negara dibesar-besarkan,” kritiknya menyinggung kondisi Lokananta sekarang.

Di sisi lain, Waldjinah, penyanyi gending Jawa dan keroncong yang memiliki suara merdu nan-empuk, berharap agar Lokananta akan selamanya ada. Tidak hanya sekali beliau rekaman di Lokananta, bahkan puluhan suara emasnya terekam di Lokananta. Beliau pun merasa bangga telah dibesarkan oleh Lokananta. ”Kalau bisa setiap orang yang pernah rekaman di Lokananta merasa bangga pernah rekaman di Lokananta,” papar Ibu Waldjinah.

Dengan segala pro dan kontra yang menyertai, tak dapat ditampik bahwa Lokananta mempunyai banyak PR besar. Sebagai pelopor industri rekaman di tanah air, sudah selayaknya Lokananta lebih dikenal luas di tengah masyarakat. Untuk ke depannya, Lokananta harus lebih serius mengembangkan potensi-potensi yang ada. Promosi yang baik juga menjadi faktor penting dalam bangkitnya Lokananta. Harapan untuk menjadikan Lokananta sebagai ”kotak budaya” yang dikenal dan bermanfaat bagi masyarakat semoga tak menjadi impian kosong semata.
=hudzaifah+







tulisan ini telah di terbitkan di majalah lpm kentingan uns edisi ke-17 tahun 2010 pada rubrik bentara